
Widi menancapkan bendera merah putih yang terbuat dari kertas selebar tiga jari. Bendera kebangsaan Indonesia itu dililitkan pada sebatang lidi, menyerupai bendera yang dipancangkan di tiangnya. Bendera itu bertengger di atas nasi kuning berbentuk gunungan kecil. Orang sering menyebutnya tumpeng. Ukuran tumpeng itu tidak terlalu besar. Mungkin tidak lebih besar dari toples kue lebaran.
Seharian, Widi telah bersusah payah membuat tumpeng itu..Pekerjaannya mengalami banyak hambatan karena ia tak mempunyai cetakan tumpeng yang terbuat dari alumunium seperti yang dimiliki ibunya. Sebagai penggantinya, ia membuat cetakan tumpeng sederhana terbuat dari kertas manila yang dilapisi tas kresek. Dengan bantuan piring, kertas manila bekas yang sudah agak lusuh digunting membentuk lingkaran. Kemudian lingkaran itu dilipat sehingga membentuk setengah lingkaran. Selanjutnya setengah lingkaran itu kemudian dilipat sehingga membentuk kerucut
Hasilnya tidak terlalu mengecewakan. Kini diatas piring berpermukaan lebar, kado pernikahan dari Cindi temannya, tumpeng itu berdiri kokoh. Di sekitar tumpeng itu ditebarkan nasi kuning. Di tepi piring ditata lipatan daun pisang berbentuk segitiga. Diatas tebaran nasi kuning di sekitar tumpeng ditaburi irisan telur dadar..
Tumpeng itu tidak sendirian. Ada sepiring sambel goreng kentang kering dengan tebaran kacang tanah goreng, tiga buah telur asin yang sudah dibelah diatas piring kecil dan sepiring sambel goreng ati. Sebatang lilin di atas tatakan gelas terletak di ujung meja. Dua piring dalam posisi terbalik terletak saling berseberangan. Salah satu terletak di kanan dan yang lain terletak di sebelah kiri. Sepasang sendok dan garpu mengapit setiap piring. Di sebelah kiri piring terdapat segelas air putih.
Setelah merasa cukup, Widi mundur beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Kini ia berjarak beberapa meter dari meja makan. Matanya meneliti setiap detil yang ada di meja itu. Adakah sesuatu yang kurang? Ia mengamati dengan seksama. Sebentar kepalanya meneleng ke kiri, sebentar kemudian meneleng ke kanan. Ia merasa ada sesuatu yang kurang. Lilin, gumam Widi. Ia tidak segera beranjak. Untuk beberapa saat ia masih harus mempertimbangkannya. Setelah merasa yakin bahwa ia memang harus menambahkan lilin di ujung meja yang lain iapun beranjak. Ia ambil satu lilin lagi dari kotak lilin yang ia miliki. Ia ambil satu tatakan gelas lagi dan korek api di atas lemari plastic. Dengan sekali gesek, batang korek api itu sudah menyala. Sedetik kemudian nyala api sudah berpindah ke ujung sumbu lilin. Ia menjungkirkan lilin hingga sebagian lilin meleleh. Lelehan itulah yang digunakan pengokoh berdirinya lilin.
Widi melirik jam dinding yang tergantung di tembok dekat meja makan. Jam tujuh kurang dua puluh menit. Sebentar lagi Firman datang. Widi segera menyelesaikan pekerjaannya. Ia masuk kamar. Benda yang dituju adalah cermin. Ia perlu mengecek kembali penampilannya. Ia ingin FIrman mendapatkannya dalam kondisi terbaik. Untuk itu, seharian ia sudah berlulur dan memakai masker. Tanpa sadar Widi mengusap pipinya sendiri. Halus! Bisiknya sambil tersenyum bangga. Firman akan segera merasakan bila ia menciumnya nanti.
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!
Sambil menjawab salam Widi segera menghambur keluar. Benar saja, ia mendapatkan suaminya sudah berada di balik pintu.
“Hei! Kamu tidak mengunci pintu sayang?!
“Sory, aku lupa” jawab Widi mengajuk manja. Serta merta tangannya merangkul pinggang Firman dan menyodorkan pipinya untuk dicium. Firman menundukkan kepala, mencium pipi Widi. Tidak seperti biasa, kali ini hidung Firman mendarat agak lama di atas pipi Widi. WIdi memejamkan mata, menghayati ciuman Firman dengan sepenuh hati.
“Mandi dulu sayang?” tanya Widi setelah pelukan suaminya merenggang.
“Kenapa? Tubuhku bau ya?” Tanya Firman sambil mencubit pipi Widi.
Widi mengangguk.
“Mentang-mentang yang sudah cantik” kata Firman kemudian.
“Aku sudah siapkan air panas di kamar mandi”
Widi mengambil alih tas kerja suaminya dan mendorongnya pelan.
Sepuluh menit kemudian, Widi mendapati suaminya keluar dari kamar mandi dengan piamanya. Widi segera menarik tangan suaminya lembut dan mengajaknya masuk kamar.
“Kita akan makan malam istimewa. Tapi sebelumnya kamu ganti baju dulu”
Firman mengernyitkan dahi. Keinginannya bertanya mengapa istrinya berbuat begitu diurungkan karena Widi tak memberinya kesempatan. Widi menarik tubuhnya mendekati dipan. Di atas dipan sudah ada baju santai untuknya. Widi melepas piama suaminya dan menggantinya dengan kaos santai. Selanjutnya Widi meletakkan celana santai di atas telapak tangan Firman.
“Nggak digantiin sekali?” tanya Firman genit.
Widi mencibir.
“Pakai sendiri. Kayak anak kecil aja”
“Di depan kamu aku emang suka jadi anak kecil sayang!!”
Widi tak menghiraukan ocehan Firman.
“Jangan lama-lama ya! Kutunggu di meja makan”
“Oke!” jawab Firman.
$$$
“Wow!!! Ada pesta apa ini?” komentar Firman sesampainya di ruang makan.
“Duduklah!” kata Widi mempersilahkan Firman duduk.
Firman mengangguk. Ia segera menempati tempat duduknya.
“Kamu sendiri yang menyiapkan semua ini?” tanya Firman lagi.
Widi mengangguk.
“Maksudku, memasak sendiri?”
Widi mengangguk lagi. Firman pasti tidak menduga kalau ia bisa melakukannya sendirian. Itu membuatnya bangga.
“Surprise!! Tapi tunggu dulu, aku harus mencicipinya untuk memastikan kalau masakanmu layak disantap.
“Boleh! Apa dulu yang mau dicicipi?”
“Nasi Kuning”
Widi segera membalik piring Firman kemudian menyendok sedikit nasi kuning dan menyuapkannya.
“Enak” kata Firman sambil mengangguk-angguk.
Widi tersenyum puas. Baginya ini adalah sebuah pujian.
“Tapi tunggu dulu”
Firman menghentikan gerakan tangan Widi yang akan menambahkan nasi kuning ke piringnya.
“Nasi Tumpeng dengan bendera merah putih diatasnya. Ehm … apa sekarang tanggal 17 Agustus?” tanya Firman sambil mengerutkan kening. Ia membalikkan badan. Matanya melarik angka di kalender yang tergantung tepat di belakangnya.
“Tidak juga” gumamnya lirih.
“Hei kamu ngadain pesta apa sih?” tanya Firman penasaran.
Widi tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya tersenyum penuh arti.
“Apa itu penting?” tanya Widi
Firman mengangguk.
“Aku merayakan hari kemerdekaanku!” kata Widi mantap.
Ia mengatupkan kedua tangan dan membentuknya menjadi sebuah kepalan yang kuat serta meletakkan di dadanya dengan disertai pejaman mata.
“Kemerdekaan?” tanya Firman heran. Aneh kedengarannya. Widi merayakan kemerdekaannya. Kemerdekaan seperti apa yang ia maksud. Dari sikapnya barusan, Firman bisa merasakan bahwa Widi sangat menghayati apa yang ia maksud dengan kemerdekaan. Lihat kepalan tangannya. Lihat pejaman matanya saat kepalan tengan itu diletakkan di dadanya. Tampaknya hari ini sungguh sesuatu yang sangat berharga baginya.
“Bisa diceritakan apa arti kemerdekaan itu? Biar aku juga bisa ikut merasakannya” Firman memohon sambil menyelidik.
“Pasti! Aku akan menceritakannya nanti. Tapi kita makan dulu, OK”
Firman mengangguk. Meski ia sangat ingin mendengar cerita Widi, tapi ia tak ingin mengganggu suasana. Lagi pula, perutnya sudah minta diisi sejak tadi.
$$$
Mereka berdua duduk di atas sofa dalam temaram lilin yang redup, di ruang keluarga kontrakan mereka yang sederhana. Tubuh mereka saling merapat. Widi tenggelam dalam rengkuhan Firman.
Usia pernikahan mereka belum lama. Baru tiga bulan. Merekapun bukan pasangan yang telah melalui masa pacaran panjang sebelum memasuki jenjang pernikahan. Karenanya mereka sebetulnya masih berusaha saling mengenal, saling memahami dan saling mengerti satu sama lain. Tetapi mereka menikmatinya. Masing-masing berusaha ikhlas menerima pasangan mereka sebagaimana adanya. Bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna. Dan ketidaksempurnaan itulah yang menyadarkan mereka untuk menjadi yang terbaik tanpa harus kehilangan diri mereka sendiri.
Beberapa menit yang lalu Widi baru saja memenuhi janjinya. Menceritakan tentang asal usul hari kemerdekaan yang mereka rayakan malam ini. Tampak sekali bahwa Widi sedang berusaha untuk melepaskan beban yang selama ini menghimpit dirinya. Beban itu sangat berat. Saking beratnya himpitan itu, beberapa kali Firman harus melepaskannya dengan usapan lembut dipunggung tangan WIdi.
Adalah seorang Widi, yang hidup dalam sebuah keluarga ningrat yang sangat kental dengan aturan. Ibunya adalah keturunan bangsawan yang dididik dengan orotitas tinggi. Eyang Widi seorang bangsawan yang sangat menjunjung tinggi tata krama yang berlaku di kalangan kaum-kaum bangsawan. Pola asuh yang seperti itu juga yang diterapkan ibu Widi untuk anak-anaknya. Tidak ada keinginan yang berlaku kecuali itu sependapat dengan keinginan ibunya. Ibunyalah yang menentukan dimana ia harus sekolah, jurusan yang harus diambil, menentukan kegiatan ekskul yang harus diikuti, baju yang harus dikenakan dalam perjamuan makan, potongan rambut, jenis pekerjaan dan lain sebagainya.
“Aku tak pernah merasakan susah senangnya mengambil keputusan, karena aku tak pernah mempunyai keputusan” kata Widi pedih.
“Boleh aku tahu apa hubungannya dengan hari kemerdekaanmu malam ini?” Tanya Firman hati-hati. Ia tidak ingin melukai hati istrinya.
“Kamu memberi aku kemerdekaan. Kamu membiarkan aku memilih sendiri warna baju yang aku sukai, membiarkanku memilih menu yang aku sukai. Yang terpenting dari semuanya, kamu membiarkanku mengambil keputusan. Kamu bilang aku bebas melakukan apa saja yang menurutku baik ..”
“Asal….” Potong Firman yang segera ditahan Widi dengan ujung jari di atas bibir Firman.
“Asal sesuai dengan aturan agama dan norma yang berlaku” sambung Widi.
”Yap! karena aturan itu yang akan menuntun hidup kita. Menjadikan hidup kita lebih baik”
“Aku tahu, dan aku berjanji” kata Widi mantap. Wajahnya mendongak, mencari wajah Firman. Firman menyambutnya dengan senyuman dan kecupan mesra.
“Bagaimana dengan aku sayang? Apakah aku juga keputusan ibumu?” bisik Firman di telinga Widi.
WIdi menggeleng.
“Calon suami pilihan ibuku bukan kamu” kata Widi
Firman membeliak.
“Enam bulan sebelum tanggal pernikahan kami di tetapkan, ia menikah dengan orang lain”
“Oh ya”
“Ibu shock, dan kita bertemu di perpustakan kota dua bulan setelah itu. Kamu masih ingat?”
Firman mengangguk.
“Kamu terlalu cepat memutuskan untuk melamarku, dan ibu tak punya pilihan lain. Kamu adalah tangan Tuhan yang melepaskanku dari belenggu. Kamu adalah kemerdekaanku” kata Widi sambil merangkul leher suaminya dengan manja.
Firman tersenyum. Mungkin inilah jawabannya, pikir Firman.
Keputusannya untuk menikahi Widi memang aneh. Ia hanya bertemu dua kali diperpustakaan kota. Sejak saat itu, wajah widi selalu berkelebat dibenaknya disertai dengan debaran jantung yang hebat. Hati kecilnya mengatakan bahwa Widi adalah jodohnya, dan ia tergerak untuk melamar, kemudian menikahinya. Firman tak membutuhkan waktu lama untuk mewujudkan keinginannya.
Kini, di penghujung malam, dalam temaran lilin, Firman memperkuat rengkuhannya. Ia sadar bahwa ia dan istrinya telah disatukan dalam cinta. Widi adalah amanat baginya, dan Firman berjanji untuk menjaga amanat ini sebaik-baiknya.
No comments:
Post a Comment