Monday, December 31, 2012

Bagaimanapun, terimakasih Ami



Blog ini sudah mangkrak untuk jangka waktu yang cukup lama. Beberapa waktu yang lalu tampilannya kacau. Salah pilih template. Pengennya keren tapi malah kacau balau. Sudah minta dibetulin ami segala. Jadi cantik sih, tapi tetap saja bingung postingnya. Klik... klik dan klik akhirnya jadilah seperti saat ini. Lumayan... lumayan. Untuk uji coba pos cerita foto aja deh.



Kursi jadul.
Kursi ini dikenal dengan sebutan kursi sedan. kursi peninggalan kakek-nenekku. Pada jamannya kursi ini sangat anggun. Satu set kursi terdiri dari satu meja dan empat kursi. Karena dudukan yang sangat rendah maka orang yang duduk diatasnya nyaris ndeprok. 

Kursi kuno ini  sekarang tinggal dua dengan meja yang juga tidak sempurna. Yang paling mengesankan bagiku, nenekku meninggal ketika duduk di kursi ini.

Suatu malam di bulan Oktober nenek duduk di atas kursi sedan ini. Biasanya untuk menghindarkan rasa dingin beliau akan mengangkat kedua kaki dan menekuknya hampir menyerupai posisi duduk attahiyat akhir. Malam itu beliau dan kakakku sedang nonton TV hitam putih yang menayangkan acara drama pahlawan memperingati sepuluh nopember. Sebagaimana layaknya orang tua pada jaman itu, apapun yang berbau perjuangan selalu membangkitkan ingatannya tentang peristiwa masa-masa penjajahan. Orang tua seusia nenekku pada saat itu (tahun 1984) memang masih mengalami masa-masa sulit dan bisa menjadi nara sumber yang akurat.

Maka berceritalah beliau tentang peristiwa penyerangan yang terjadi di persawahan yang tak jauh dari rumah nenek. Sedang asyik-asyiknya kakakku mendengar cerita beliau, nenek berhenti berbicara. Kakakku berpikir, nenek sedang menelan ludah. Disabarkanlah hatinya untuk menunggu kelanjutan cerita nenek. Eh ditunggu beberapa lama nenek tidak melanjutkan ceritanya. Saat ditengok kepala nenek sudah terkulai. Kakakku pun panik. Ia segera membangunkan aku yang saat itu tidur di dipan tak jauh dari kursi nenek. Saat dipindahkan dari kursi, ternyata nenek sudah meninggal.

Peristiwa itu cukup membuatku terpukul. Bagaimana tidak. Kepergian Ibuku (anak perempuan nenek)  setahun sebelumnya saja sudah membuat aku kacau. Ayahku menikah hanya tiga bulan berselang setelah ibu meninggal dan aku sangat tidak paham mengapa semua itu terjadi. Dalam kekacauan itu aku berlindung kepadanya. Dan nenekku benar-benar melindungiku. Ia adalah perempuan bertubuh mungil tetapi menurutku sangat perkasa. Ia menghadapi semua masalah-masalah yang sangat berat dengan tatapan teduh dan tanpa mengeluh. Sekalipun hatinya terluka tetapi ia tetap menyimpannya. Kuketahui semua itu karena nenekku mempercayakan  ungkapan perasaannya kepadaku, cucunya.

Meski aku tak sepenuhnya paham dengan apa yang beliau sampaikan (biasanya sambil menyelonjorkan kakinya di lincak dan nginang) tapi aku merasa terpanggil untuk mendengarkannya. Kini, aku merasa sangat terhormat menyimpan semua cerita nenek. Beliau sudah menghadap kepada sang pencipta 28 tahun yang lalu, dan aku merasa mendapat kehormatan karena telah menyimpan cerita-cerita kehidupan darinya. Semoga Allah mengampuni segala dosanya dan menerima amal kebaikannya.

No comments:

Post a Comment