Tuesday, February 17, 2009

Pelajaran Berharga Untuk Ami: Kecewa!!

Sore itu, aku pulang dari sebuah pelatihan motivasi kira-kira jam lima sore. Seperti biasa, aku melangkah memasuki rumah setelah memarkir sepeda motor di teras. Ami nongol di depan pintu dengan wajah tidak seperti biasa. Maksudku, ia tidak tersenyum seperti yang biasanya ia lakukan kalau menyambut kedatanganku. Tapi aku tak terlalu menghiraukannya. Rasa capek dan tubuh yang gerah membuat aku ingin segera meletakkan semua beban yang ada di tubuhku. Helm yang kurasakan semakin berat serta tas berisi buku-buku tebal seolah-olah membelenggu gerakku.
“Ibu besok masih ikut pelatihan?” tanya ami mengagetkanku. Rupanya ia menguntitku. Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada suara gadis kecilku. Tidak seperti biasanya. Berat! Itu membuatku tidak segera menjawab pertanyaannya. Setelah meletakkan helm aku memperhatikannya dengan seksama.
“Ibu besok masih ikut pelatihan?”
Ami mengulang pertanyaan yang sama. Kali ini dengan nada yang semakin tinggi dan sangat tidak bersahabat. Matanya memandangiku seolah ingin menyalahkan aku.
“Iya! Besok ibu ikut pelatihan internet di telkom. Kenapa?” tanyaku penuh selidik.
“Belikan es krim!”
Aku tersenyum. Sedikit lega. Ternyata ia hanya minta es krim.
“Pasti!! Besok ibu belikan. Sekarang ibu ke kamar mandi dulu ya!”
Sekeluarku dari kamar mandi, Ami sudah menunggu di depan pintu. Tidak biasanya kataku dalam hati. Aku mengenali sifat anak keduaku. Aku menangkap ada sesuatu yang telah terjadi pada dirinya sehingga ia gelisah dan merasa kurang nyaman.
Aku menariknya duduk di bangku panjang ruang tengah kami. Aku menariknya hingga ia duduk di pangkuanku. Aku mendekapnya erat-erat untuk memastikan ia berada dalam situasi yang aman.
“Aku tidak terpilih ikut baris berbaris” kata Ami dengan suara parau.
Aku kaget hingga tak tahu harus mengatakan apa padanya. Aku tahu keadaan ini pasti sangat membuatnya tersiksa. Kemarin, matanya berbinar-binar ketika mengatakan bahwa ia diikutkan latihan baris berbaris, mempersiapkan perlombaan tujuh belas Agustus sekolahnya yang diadakan beberapa minggu yang akan datang. Aku tahu ia sangat berharap bisa menjadi satu dari sekian anak yang diikutsertakan mengikuti lomba baris berbaris.
Aku merengkuh tubuhnya dan mendekapnya erat-erat.
“Kalau kamu ingin menangis, menangislah sayang”
Aku merasakan isak tangisnya di pundakku. Aku menunggunya hingga ia merasa tenang. Aku bisa merasakan kepedihannya karena hatinya juga merasa sangat pedih. Aku harus menolongnya.
Apa yang harus aku lakukan? Menelepon gurunya dan meminta untuk mengikutsertakan anakku dalam perlombaan baris berbaris? Menghiburnya? Atau menyadarkannya bahwa kekecewaannya adalah bagian dari hidup?
Aku bukan seorang psikolog. Aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Tetapi seperti kata trainer dalam pelatihan yang kuikuti, bahwa pikiran bawah sadar seseorang merekam informasi yang sampai pada orang itu dan sangat berpeluang untuk memberntuk perilaku dan kepribadiannya di kemudian hari. Aku harus memberikan yang terbaik untuk anakku.
Setelah kurasa Ami agak tenang, aku membalikkan badannya. Kini ia duduk dipangkuanku menghadap ke arah yang sama denganku. Kutempelkan telapak tanganku di dadanya.
“Apa yang kamu rasakan?” ia tak menjawab.
“Apakah kamu merasakan perih di sini?” Ia mengangguk.
“Sayang, yang kamu rasakan itu namanya “kecewa”.
Aku sengaja melambatkan kata – kata kecewa agar ia bisa mendengarnya dengan jelas.
“Sayang, setiap orang di dunia ini pasti pernah merasakan kecewa seperti yang kamu rasakan saat ini. Semua orang!!”
“Ketika kamu menginginkan sesuatu dan kamu tidak mendapatkannya, kamu akan merasa kecewa”
“Tetapi,….. kalau aku ingin roti dan tidak mendapatkannya aku tidak merasakan seperti ini” kata Ami masih terisak-isak.
Aku tersenyum.
“Itu karena keinginanmu mempunyai roti tidak sekuat keinginanmu ikut lomba baris berbaris. Semakin kuat keinginan kamu terhadap sesuatu, kalau tidak kesampaian akan semakin sakit. Tetapi semua itu tidak akan berlangsung lama. Setelah beberapa hari rasa sakit itu akan hilang dengan sendirinya”
“Tapi Azza ikut baris” sergah Ami masih dengan nada marah.
Azza adalah teman sekelasnya. Badan Azza memang lebih tinggi dari pada Ami.
“Dia terpilih?”
Ami mengangguk.
“Mungkin karena badannya tinggi dan kekar. Kalau ikut baris memang badan harus kuat dan sehat”
“Apa aku tidak sehat?”
Aku diam sejenak. Aku merasakan sesuatu telah terjadi pada dirinya. Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak hanya harus menghiburnya tetapi aku juga harus mengajarinya untuk menghadapi rasa kecewa yang saat ini dia alami.
“Nduk, kamu sehat. Tetapi kamu tidak terpilih ikut baris. Ibu pikir semua teman-temanmu ingin diikutsertakan dalam lomba baris tahun ini. Coba bayangkan, kalau semua temanmu diikutsertakan baris. Mungkin nggak?”
Ia memandangku sesaat kemudian menggeleng.
“Itu sebabnya harus ada yang tidak ikut baris. Kalau kebetulan kita termasuk yang tidak terpilih kita harus menerimanya. Kamu harus berlatih lebih giat. Berdoa kepada Allah, agar tahun depan kamu mendapatkan kesempatan untuk ikut baris”
Ami tidak mengomentari kata-kataku. Kulihat wajahnya tidak setegang beberapa waktu yang lalu.
“Ya aku tahu” katanya sambil pergi meninggalkanku karena ada suara anak tetangga memanggilnya.

No comments:

Post a Comment