Mengarang (menulis) itu gampang, kata Arswendo yang dijadikan judul sebuah bukunya. Menulis itu mudah, kata penulis yang lain. Orang yang bisa berbicara dengan baik berpotensi untuk dapat menulis dengan baik, kata Guntur Waseso dalam sebuah pelatihan menulis di depan duaratus lima puluh guru peserta pelatihan. Seorang penulis kawakan lain mengatakan: menulislah kalau ingin jadi penulis. Semua yang dikatakan oleh mereka yang sudah terkenal itu memberikan kesan kepada kita bahwa menulis itu sederhana/ mudah atau tidak sulit.
Begitu sederhananya saran para penulis yang sudah malang melintang di dunia tulis menulis itu membuat kita jadi tergiur ingin menulis. Ngiler, bahasa jawanya. Seperti seorang anak yang ingin makan es krim dan mendapat cerita tentang enaknya es krim sampai air liurnya tumpah. Tetapi betulkah demikian? Semudah itukah menulis? Semudah itukah mengubah bahasa lisan menjadi bahasa tulisan?
Mengawali adalah pekerjaan paling sulit. Ketika seseorang ingin menulis dan kemudian berinisiatif menulis, tidak semuanya berhasil menyelesaikan sebuah tulisan. Ide yang sudah mengendap berhari-hari di dalam otak tidak mau muncul dalam bentuk tulisan. Kalaupun dipaksa menggerak-gerakkan pensil di tangan atau menekan tombol keyboard komputer, yang muncul adalah tulisan yang amburadul. Tidak sesuai dengan ide pokok yang ingin disampaikan. Bila itu yang terjadi maka yang muncul adalah keputusasaan.
Ide adalah bagian penting dalam dunia tulis menulis. Para penulis kawakan selalu membesarkan hati penulis pemula dengan mengatakan ide ada dimana-mana dan dapat ditemukan setiap saat dan di setiap keadaan. Apa yang disampaikan penulis kawakan itu benar. Tetapi kesulitan yang dihadapi penulis pemula adalah mendapatkan kepekaan mereka terhadap ide yang tumpah ruah disekitarnya. Sekuntum bunga bisa menjadi sumber ide bagi penulis yang kepekaannya terasah tetapi bukan ide bagi penulis yang tumpul kepekaannya.
Kesulitan yang kedua adalah begitu cepat raibnya ide sebelum sempat dituangkan dalam sebuah tulisan. Kalau sedang mendapatkan "hidayah" banyak ide berseliweran di otak penulis pemula. Seperti kilatan halilintar yang menyambar-nyambar di musim badai tiba. Tetapi celakanya, datangnya ide itu tidak kenal kompromi. Ketika sedang dalam perjalanan naik sepeda motor, sedang buang hajat, sedang mengajar bahkan saat sedang melakukan kegiatan ritual sangat penting (sholat) ide bisa muncul begitu saja. Beberapa penulis menyarankan trik menulisnya, begitu ide muncul. Dengan satu kata boleh. Dengan satu kalimat boleh. Dengan satu paragraf bagus. Dengan satu halaman yang terdiri dari beberapa paragraf lebih bagus lagi. Tetapi bila munculnya ide pada saat genting dan tidak mungkin ditulis seketika itu tentu harus menunggu waktu yang tepat untuk menulisnya. Maka ide disimpan beberapa saat di dalam otak. Celakanya, begitu kita siap menulis, ide itu sudah raib.
Tangkap Ide
Bila seorang pemburu harus berjuang keras menangkap hewan buruannya, maka seorang penulis harus berburu menangkap ide. Seringkali penulis pemula kering ide. Otaknya tumpul sehingga tidak mampu menangkap ide yang sudah jelas-jelas muncul di depan batang hidungnya. Dalam kondisi seperti ini, penulis pemula harus bekerja keras untuk berburu ide.
Cara pertama yang disarankan penulis kawakan adalah mengamati segala sesuatu disekitarnya dengan dibarengi berpiir kritis. Ketika mata melihat orang berkerumun otak kita bertanya, mengapa mereka berkerumun? Apa yang terjadi? Kitapun akan berusaha mendapatkan informasi tentang kejadian itu. Kita melihat dari dekat kerumunan orang-orang itu dan mencari tahu "ada apa" di sana. Bila ide masih juga belum muncul dari kejadian itu, kita masih disarankan untuk mengembangkan imajinasi. Bagaimana bila kerumunan itu terjadi karena ada seorang ibu tertabrak motor kemudian tewas saat itu juga. Bagaimana kalau ibu itu mengalami kecelakaan pada saat ia berusaha mencari di mana suaminya berana? Bagaimana kalau suami itu itu selingkuh dengan perempuan lain? Bagaimana kalau pada saat pergi, anak ibu itu sakit panas? Bagaimana kalau ibu itu sedang hamil hasil hubungan gelap dengan teman suaminya? Dan seterusnya dan seterusnya. Imaginasi terbangun, ide muncul dan tulisanpun lahir. Kelihatannya mudah.
Bila ternyata tidak mudah, artinya ide tidak bisa muncul dari sana, maka saran lain untuk menangkap ide adalah dengan membaca. Ketika membaca, kita melakukan analisa dari apa yang kita baca. Hasil analisa itu menumbuhkan sikap terhadap isi tulisan. Bila kita setuju dengan isi tulisan maka kita perlu memberikan penguatan atas ke-setujuan kita. Kita bisa menyampaikan fakta-fakta yang mendukung mengapa kita menyetujui tulisan itu. Sebaliknya bila kita tidak setuju maka kita perlu berargumen dengan analisa yang jitu. Hasil analisa itu bisa menjadi ide untuk membuat tulisan.
Membaca juga bisa memberikan tantangan kepada pembacanya untuk melahirkan tulisan. Seringkali pembaca dalam hatinya menilai tulisan yang dibacanya tidak bagus. Setelah menuntaskan membaca, ia mencibir dan (dalam hati) ia mengatakan bahwa ia bisa menulis lebih baik dari tulisan yang ia baca. Maka ia perlu membuktikannya dengan benar-benar menulis. Muncullah ide dan lahirlah sebuah tulisan.
Cara lain untuk memunculkan ide adalah berdiskusi dengan orang lain. Dalam hal ini teori Guntur Waseso yang menyebutkan bahwa orang yang cakap berbicara, menyampaikan sesuatu dengan baik tentu ia bisa menulis dengan baik dapat dibuktikan. Dalam piramida pengalaman belajar juga disebutkan bahwa 60% pengalaman belajar yang efektif adalah dari "mengatakannya". Pada saat berdiskusi, kita menyampaikan pikiran-pikiran kita kepada orang lain. Pada saat berdiskusi pula, kita mendengarkan pendapat orang lain. Interaksi antara orang-orang yang sedang berdiskusi bermanfaat untuk menguji pendapat seseorang karena setiap pendapat akan mendapat tanggapan secara langsung. Kita menjadi tahu bagaimana respon orang lain terhadap pendapat kita. Tidak jarang, pendapat orang lain menyulut ide yang layak diangkat menjadi topik tulisan.
Jerat Ide
Sebagian besar penulis besar mengatakan bahwa ide ada dimana-mana dan kapan saja. Dengan kata lain mereka mengatakan bahwa penulis pemula tidak perlu bersusah payah mendapatkan ide karena ide itu sudah ada di depan mata. Tinggal comot saja. Anggaplah pendapat itu benar. Yang sangat disayangkan, seringkali ide itu raib pada saat kita hendak menuliskannya. Ide yang semula kita anggap cemerlang dan hebat, tiba-tiba saat kita ingin menuangkannya menjadi sebuah tulisan menjadi kerdil dan hambar. Sampai-sampai kita sendiri meragukan apakah ia layak menjadi sebuah tulisan. Untuk itu, bila kita sudah mendapatkan ide yang kita anggap cemerlang, kita harus segera menjerat dan mengurungnya hingga ia tak mungkin melarikan diri.
Seorang penulis hebat bisa merekam setiap ide yang muncul di kepalanya dengan baik. Ia bahkan mulai menulis sebelum tangannya memegang pensil dan ia menemukan kertas. Ia menulis sebelum sempat menyalakan komputer dan menekan tuts keyboard. Ia menulisnya dalam hati. Sangat rinci. Bagian demi bagian. Semua diingatnya dengan baik Meski kemudian muncul ide baru, ide lama akan tetap terpelihara dalam ingatannya. Maka ketika ia mendapatkan media tulis, ia menulis seperti sungai mengalirkan airnya.
Bagi penulis pemula, ide sering muncul tenggelam. Suatu ketika ide cemerlang muncul kemudian beberapa saat kemudian ia hilang. Oleh karena itu penulis harus berusaha menjeratnya. Menjerat ide tentu dengan cara menuliskannya. Tidak peduli ide itu berupa kata, kalimat atau paragraf. Menulis ide yang muncul harus dilakukan sesegera mungkin. Untuk itu seorang penulis harus selalu siap dengan alat rekam. Bisa alat rekam elektronik yang canggih bisa juga sebuah buku catatan kumal dan pensil yang sederhana. Yang penting ia bisa merekam informasi dengan baik.
Action
Selanjutnya action. Actionnya penulis adalah menulis. Hatim Ghozali dan banyak penulis lain menyarankan siapapun yang ingin menulis, ya menulislah. Tulislah apa saja. Dalam istilah Jonru Ginting ini namanya menulis bebas. Tidak peduli apakah tulisan yang kita hasilkan bagus atau jelek. Tidak peduli apakah yang kita tulis sesuai aturan atau tidak, yang penting menulis. Ingin menulis ya harus menulis. Kapan harus dilakukan? Sekarang juga. Tidak nanti, tidak besok dan tidak lusa. Menunda-nunda keinginan menulis hanya menyia-nyiakan energi yang sangat berharga.
Sama seperti kegiatan-kegiatan lain, menulis juga membutuhkan energi. Bila hati sedang tidak mood, konsentrasi harus dibangun dan ide masih harus digali, dibutuhkan energi yang cukup besar untuk memulai kegiatan menulis. Seperti orang berjalan pada tanjakan yang harus menguras tenaga dan menghabiskan energi. Ia terengah-engah dan cepat lelah. Tetapi bila hati sedang mood, ide tersedia dan keinginan menulis sedang menggebu-gebu, dibutuhkan sedikit energi untuk memulai menulis. Ibarat orang berjalan, ia sedang berjalan di jalan menurun yang landai. Ia nyaris tidak mengeluarkan energi untuk bisa meluncur sampai ke bawah. Begitulah kegiatan menulis. Penulis harus pandai-pandai memanfaatkan suasana hati agar hemat energi saat menulis.
Energi untuk menulis juga dapat dihemat bila kita mengetahui teknik menulis yang baik. Secara teori teknik menulis dapat dipelajari melalui buku-buku jurnalistik. Tetapi teknik menulis juga dapat lahir dari pengalaman penulis besar. Dengan segudang pengalamannya mereka menemukan teknik-teknik menulis yang teruji. Penulis pemula perlu mempelajari teknik menulis ini karena seringkali hambatan yang dihadapi penulis pemula disebabkan karena ia belum mengetahui teknik menulis yang baik. Dengam membaca dan menyimak penuturan penulis-penulis besar, wawasan penulis pemula dalam dunia tulis menulis akan semakin berkembang.
Disiplin berlatih
Selanjutnya disiplin berlatih. Menulis adalah ketrampilan dan setiap ketrampilan diperoleh melalui latihan. Mereka yang terampil adalah mereka yang disiplin berlatih. Kemampuan menulis juga harus dilatihkan. Penulis pemula harus menetapkan jadwal berlatih menulis untuk dirinya sendiri. Semakin ketat jadwal berlatih yang ia buat semakin cepat ketrampilannya terasah.
Pada umumnya disiplin diterapkan dalam suatu suatu sistim yang memberlakukan aturan-aturan. Orang yang tidak disiplin cenderung suka melanggar aturan. Akibat dari pelanggaran adalah sangsi. Penulis menciptakan sendiri aturan dan mengontrol sendiri apakah aturan itu dilaksanakan atau tidak. Sekaligus menentukan sendiri sangsi apa yang pantas diberikan kalau aturan dilanggar. Singkat kata, pembuat, pelaku dan pengawas aturan itu dilakukan oleh penulis itu sendiri.
Mendisiplinkan diri sendiri memang bukan hal yang mudah. Tetapi untuk mencapai keinginan yang besar memang harus dibayar dengan tindakan besar. Salah satu diantaranya adalah disiplin berlatih ini. Untuk itu bagi mereka yang ingin menjadi seorang penulis tidak ada tip paling ampuh selain menulis.
Selamat menulis!
No comments:
Post a Comment