Wednesday, May 5, 2010

Seminar Amburadul

Sebuah pesan singkat kuterima dari seseorang, kenalan ketika mengikuti pelatihan di kota Tulungagung. “Ada seminar sehari dg tema: teknik adopsi pembelajaran global di lec blitar pembicara Prof Dr X tanggal 31 Agustus 2008. skor 30”, begitu bunyi pesan singkat itu. Aku tersenyum dalam hati. Ekor dari sms itu yang membuatku tersenyum. Hari ini bukanlah sebuah rahasia lagi bila pelaku pendidikan berlomba-lomba mengikuti pelatihan untuk mendapatkan tambahan skor sebagai bekal untuk mengikuti program sertifikasi. Konon guru adalah sebuah profesi. Untuk dapat menyandang profesi itu, kelayakan seorang guru harus terakui melalui lembaga penyelenggara sertifikasi guru. Salah satu bentuk penyelenggaraan sertifikasi guru adalah melalui pengumpulan instrumen portofolio dengan batas skor minimal untuk dinyatakan lulus adalah 850.
Akupun mulai mempertimbangkan. Mula-mula aku mempertimbangkan waktu pelaksanaan seminar. Tanggal 31 Agustus 2008 jatuh pada hari Minggu. Berarti aku libur. Pertimbangan yang kedua adalah pembicaranya. Pembicaranya adalah seorang profesor, guru besar sebuah perguruan tinggi negeri di kota Surabaya. Sebagai orang daerah yang menyadari keterbatasan informasi dalam dunia pendidikan, terus terang aku tertarik. Orang pinter saja jauh-jauh datang dari Surabaya ke Blitar menempuh jarak berkilo-kilometer saja bersedia, masa aku yang tinggal melangkah saja enggan. Alangkah berbedanya semangat belajar antara aku dan profesor itu. Pertimbangan ketiga adalah kontribusi yang dikenakan oleh penyelenggara seminar, cukup terjangkau bagi orang kecil seperti aku ini. Akhirnya kuputuskan, ikut.
Setelah menghubungi panitia dan mengirimkan biodata akupun bersiap-siap mengikuti seminar tersebut. Beberapa tugas dan urusan yang harus kuselesaikan pada hari H pelaksanaan seminar kukerjakan lebih awal atau kuundur sampai hari Senin. Anak-anak kuberitahu rencanaku untuk ikut seminar. Hal itu selalu kulakukan karena biasanya merekan membutuhkanku  pada hari minggu. Selanjutnya mencoba menduga-duga materi yang akan disampaikan sang profesor. Tampaknya sesuatu yang sangat baru. Aku belum pernah mendengar istilah itu sebelumnya.
Pada hari H, aku datang tepat waktu. Seperti yang sudah aku perkirakan semula, peserta seminar ini membludak. Apalagi panitia tidak membatasi jumlah peseerta dan terus menerima pendaftar baru. Ruang kelas yang semula membentuk letter U berubah untuk menyesuaikan jumlah peserta. Menurut penjelasan panitia jumlah peserta masih terus bertambah.
Pada brosur disebutkan seminar dimulai jam 07.30, tetapi menurut bocoran panitia mundur sampai jam 09.00. Maklum pembicara berasal dari luar kota. Jam 09.00 semua peserta sudah siap dalam ruangan. Untuk merintangi waktu beberapa peserta ngobrol dengan sesama peserta yang lain. Aku sendiri membayangkan, beberapa menit lagi acara ini akan dibuka secara resmi oleh panitia, dan sambil menunggu pembicara utama kami akan mendapatkan informasi-informasi penting dari dunia pendidikan. Maklum akhir-akhir ini informasi dalam dunia pendidikan berkembang sangar cepat. Untuk guru yang tinggal di daerah dengan kemampuan akses IT yang sangat rendah membuat kami merasa sangat ketinggalan. Dari rumah aku sudah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang menurutku sangat penting, yaitu peraturan menteri tentang buku murah. Menurutku sosialisasi ke bawah sangat kurang sehingga belum banyak diantara kami yang tahu bagaimana memanfaatkannya. Padahal menurut Menteri Pendidikan program ini sangat penting dan bermanfaat untuk menanggulangi daya beli masyarakat terhadap buku yang sangat rendah.
Beberapa kali panitia lewat di depan kami, menyeret meja, memasang LCD dan memasang layar. Beberapa diantara peserta memberanikan bertanya kapan seminarnya dimulai, panitia menjawab: nunggu pembicara yang masih dalam perjalanan. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00 waktu itu. Berarti waktu molor satu jam. Kami, para peserta yang sudah mulai jenuh berada di dalam ruangan, mulai keluar. Capai berjalan-jalan, mereka kembali lagi ke tempat duduk mereka dan masih mendapatkan meja pembicara yang kosong. Peserta di sebelahku yang berasal dari luar kota mulai menggerutu. Maklum, ia sudah datang sejak pagi karena takut tidak kebagian kursi. Ruangan seminar menjadi gaduh oleh suara peserta yang mulai gelisah. Temanku memberanikan diri bertanya, sampai di mana sang profesornya, di jalan apa dirumahnya? Panitia menjawab sang profesor masih sampai di Kesamben. Sebuah tempat yang berjarak 30 km dari tempat seminar. Panitia tidak berlama-lama di dekat kami. Ia segera menghilang. Mungkin risih mendengar pertanyaan yang itu-itu juga.
Jam sebelas siang, sang profesor datang di sertai seseorang. Kelihatannya sang asisten. Kami segera tenang. Tanpa ada kata pembuka dari panitia seperti layaknya sebuah seminar, sang profesor langsung pegang mikropon. Sang profesor mengucapkan salam dan menyapa kami dengan pertanyaa: apakah kami terlambat? Serentak peserta menjawab Ya!! Peofesorpin menjawah sahutan kami, Ya kalau profesor boleh terlambat. Kalau masih jadi guru tidak boleh. Kontan saja peserta menjawabnya dengan huuuuu yang sangat panjang. Selanjutnya, dalam session pertama sang profesor bercerita tentang pengalaman pribadinya yang sangat tidak menarik. Usaha sang profesor untuk memancing tawa kami justru menjadi guyonan yang sangat memuakkan. Sampai satu jam ceramah berjalan belum ada sesuatupun yang bermanfaat yang bisa kutulis dalam catatanku. Peserta di sebelahku justru menggerutu karena panitia ingkar janji. Katanya memberikan notebook dalam brosur yang ia terma ternyata tidak. Dalam hati aku berkata, percuma diberi notebook karena nggak ada yang pantas diingat dari ceramah sang profesor ini. Ternyata anggapan seperti itu tidak hanya aku yang merasakan. Seorang peserta yang bernyali langsung mengacungkan tangan saat diberi kesempatan bertanya. Peserta itu menyampaikan harapan utamanya datang pada seminar kali ini adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang  pembelajaran global sebagaimana dicantumkan dalam tema di depan. Tetapi informasi itu belum di perolehnya dari penjelasan sang profesor. Sang profesor menjawab bahwa informasi itu akan disampaikan nanti pada session berikutnya, oleh asistennya.
Session kedua sama tidak menariknya dari session pertama. Sang asissten menyampaikan materi yang sudah pernah kami peroleh sebelumnya. Kami, para peserta seminar benar-benar merasa jengkel. Bahkan untuk mengungkapkan kejengkelan. Ketika sang pembicara bertanya apakah tujuan peserta mengikuti seminar ini, salah  peserta mengatakan tujuannya mengikuti seminar ini hanya untuk melihat bagaimana nara sumber menyampaikan materinya. Kejengkelah itu semakin bertambah ketika Laptop yang akan digunakan mengalami kerewelan. Tampak sekali sang pembicara berusaha mengantisipasinya dengan memberikan guyonan-guyonan segar, sementara kami para peserta menanggapinya dengan sinis.
Bagiku, seminar kali ini adalah seminar terburuk yang pernah aku ikuti dalam hidupku. Tak kupungkiri bahwa salah satu keikutsertaanku dalam seminar itu adalah menambah koleksi sertifikat. Siapa tahu kalau nasip lagi mujur sertifikat itu nantinya dapat digunakan untuk menambah skor dalam program sertifikasi guru dalam jabatan. Tetapi mengikuti seminar dengan hanya mendapatkan sertifikat tanpa mendapatkan tambahan ilmu adalah sebuah kerugian besar menurutku. Pada satu sisi aku sadar keterbatasanku dalam hal ilmu, dimana sebagai seorang guru yang mengantarkan anak didik pada jaman serba maju ini dibutuhkan ilmu yang sangat luas. Apa yang aku terima saat masih kuliah sangat berbeda dengan apa yang aku hadapi saat ini. Permasalahan-permasalahan dalam dunia pendidikan hanya dapat diatasi bila kita senantiasa belajar dan belajar. Pada sisi yang lain aku sadar bahwa bersamaan dengan program sertifikasi yang diluncurkan oleh pemerintah, memunculkan pecundang-pecundang penjual sertifikat. 
Seperti pada seminar tersebut. Dengan pembicara seorang profesor doktor, siapa yang tidak ingin mendapat tambahan ilmu seorang yang ahli. Seorang profesor tentu seorang yang sangat ahli. Seorang penasehat yang sudah memiliki segudang pengalaman yang siap dibagikan kepada kami yang masih sangat kekurangan.  
Alasan bagi setiap orang untuk mengikuti pelatihan memang tidak sama alias beragam. Bagi mereka yang ingin segera mengumpulkan skor untuk mengikuti program sertifikasi, pelatihan bisa menambah point. Untuk guru-guru yang hanya mengejar sertifikat, mengikuti pelatihan hanya sekedar formalitas. Orientasi mereka adalah mendapatkan seritifikat. Seringkali terjadi guru hanya setor uang tetapi tidak datang pada saat pelatihan. Selanjutnya sang guru tinggal menghubungi panitia untuk mengirimkan sertifikat dimana namanya terpampang indah dalam sertifikat itu.

No comments:

Post a Comment