Wednesday, April 28, 2010

Pelajaran Dari Novel Ayat-Ayat Cinta

Hari ini, berhasil juga aku menyelesaikan membaca novel Ayat-ayat Cinta karangan Habiburrahman Saerozi. Benar kata orang, novel ini sangat bagus. Novel ini mengisahkan suka duka Mahasiswa Indonesia yang menempuh S-2 di Al Ahzar Mesir. Tokoh dalam novel ini bernama Fahri. Pemuda muslim yang mempunyai karakter yang sangat kuat. Benar juga kata Ihya beberapa waktu yang lalu, ketika ia menceritakannya kepadaku bahwa dari novel ini kita bisa mendapat banyak pelajaran. Pelajaran penting yang dapat dipetik dari kisah Fahri ini adalah keteguhannya dalam memegang keyakinan. Fahri muda banyak menyitir tentang ayat-ayat suci dan Hadist. Meskipun banyak menyitir ayat-ayat, hadist dan pendapat ulama tetapi sangat jauh dari kesan menggurui. Novel ini tetap novel. Sama seperti novel-novel yang lain, alur cerita mengalir secara kodrati. Mengungkapkan perasaan, emosi dan menguatkan karakter pelakunya. Sebagai tokoh utama, pengarang menggunakan penutur sebagai tokoh utama, Fahri memang diharapkan merebut perhatian pembaca secara total. Ia ditokohkan sebagai laki-laki ideal. Pandai, cerdas, lembut hati, tegas, penuh pengertian dan teguh memegang pendirian. Sifat-sifat yang sangat didamba semua orang. Tokoh yang disayangi oleh semua orang. Pengarang tampaknya ingin menempatkan sang tokoh sebagai uswah bagi semua orang yang hidup di jaman modern ini.
Benar juga kalau dikatakan bahwa novel ini adalah novel pembangun jiwa, sebagaimana ditulis di sampul depan, satu halaman dengan judul. Novel ini menularkan semangat kepada pembaca. Semangat untuk belajar. Semangat untuk memanage waktu. Semangat untuk memegang keyakinan meski dalam keadaan sangat genting. Semangat untuk berbuat sesuatu yang berarti dalam kehidupan manusia.
Fahri berhasil belajar ke Mesir dengan bersusah payah. Ia anak anak petani miskin. Anak seorang penjual tape. Orangtuanya merelakan menjual sawah satu-satunya warisan untuk bekal anaknya menuntut ilmu. Sebuah pengorbanan yang sangat luar biasa. Ketulusan orang tua yang patut diteladani. Orangtua yang cerdas dalam berinvestasi. Orang tua yang tidak berhitung di depan, apakah hilangnya sawah nanti akan melipatgandakannya di kemudian hari. Keikhlasan dan ketundukan orang tua Fahri terhadap ilmu pengetahuan patut ditiru oleh semua orangtua terutama orang tua di Indonesia. Mungkin ini adalah bentuk protes pengarang terhadap kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Di mana banyak orang tua silau dengan harta benda. Bila ia mempunyai seorang anak, maka yang mereka inginkan adalah anaknya dapat segera menyelesaikan pendidikannya, kemudian bekerja untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya. Demikian banyaknya orangtua-orangtua kita yang bangga dengan anak gadisnya yang pergi ke luar negeri sebagai TKW. Menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Menjadi warga kelas sepatu di sana. Di injak-injak, di hina dan direndahkan martabatnya. Uang, materi telah membuatakan semua orang termasuk para orang tua yang egois. Sementara bila orang tua merasa masih kuat, dengan berdalih untuk menanggung biaya pendidikan anaknya, mereka nekad pergi keluar negeri. Tidak peduli berapa usia anak yang ditinggalkannya, tidak peduli apakah suaminya mengijinkan dengan ikhlas atau dengan terpaksa. Tidak memperhitungkan betapa derita batin mendera anak-anak yang ditinggalkannya. Mereka, orangtua-orangtua itu, menukarnya dengan limpahan uang dan materi lainnya. Kiriman dolar atau ringgit dalam jumlah yang tidak sedikit dikirimkannya untuk anak tercinta, katanya. Tetapi mereka tak menyadari bahaya yang mengancam anak-anak mereka. Harta berlimpah menodai pandangan jiwa-jiwa bersih itu tentang hidup. Mereka beranggapan bila emak mereka yang tanpa pendidikan saja bisa mendapatkan uang dengan mudah, mengapa mereka harus bersusah payah belajar. Bila hanya berpendidikan rendah saja emak mereka bisa melancong ke negeri orang, naik pesawat, dapat membeli makanan enak, dapat membali pakaian bagus dapat mengirimkan uang puluhan juta rupiah, mengapa mereka harus ngoyo mendapatkan pendidikan tinggi. Pandangan hidup mereka bergeser perlahan-lahan. Limpahan harta membentuk jiwa mereka menjadi jiwa konsumtif. Mereka berpikir bahwa dalam hidup ini semua bisa dicapai dengan instan Mereka cenderung menyederhanakan setiap permasalahan. Mereka tidak mempunyai semangat untuk berjuang.
Novel ini membalik semuanya. Keluarga yang tulus ikhlas mendidik anak. Bersusah payah membesarkan dan menanamkan nilai-nilai luhur dengan keteladanan yang nyata menorehkan bekas yang dalam pada si anak. Fahri masih mengingat dengan jelas apa yang dilakukan ibunya ketika mengenang neptu di mana ia dilahirkan. Fahri mendapat pelajaran, meski itu ia sadari setelah ia dewasa, betapa arif dan bijaksana apa yang dilakukan ibunya semasa ia masih kecil. Fahri kecil tersentuh hatinya ketika bersama-sama ayahnya menjual tape keluar masuk kampung. Ia menyimpan kenangan-kenangan manis itu dalam alam bawah sadarnya. Dan ia memabngkitkannya kembali untuk mengobarkan semangat juangnya dalam menuntut ilmu dan memperjuangkan nilai-nilai luhur yang ditanamkan kedua orang tuanya.
Di bagian lain, pengarang menuturkan sikap hidup Fahri yang bisa dijadikan teladan oleh semua orang. Pengarang, melalui tokoh Fahri, mengutip pepatah arab: Man Jadda Wajad. Siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkannya. Pepatah yang kemudian melandasi sikap Fahri dalam menjalani hidup. Fahri melakukan segala sesuatunya dengan bersungguh-sungguh. Berjuang sangat keras. Falsafah hidupnya menempatkan usaha maksimal sebelum bertawakal kepada Allah. Ia membuat peta hidup. Membuat jadwal tahunan, jadwal bulanan dan jadwal mingguan. Ia menyusun rencana hidupnya dengan matang. Tanpa perencanaan yang matang banyak waktu terbuang percuma. Fahri sangat disiplin dalam menjalani rencana hidupnya. Hal ini sangat penting diketahui oleh semua orang apalagi seorang pelajar. Remaja yang masih belia. Manusia muda yang belum bisa memilih dan memilah kegiatan-kegiatan yang akan dijalaninya. Mereka, para remaja itu, bisa diibaratkan hidup di belantara luas. Tidak membawa kompas. Tidak tahu apakah jalan yang dilewatinya menuju jurang atau menuju telaga. Apakah rerimbunan di depannya ada harimaunya atau tidak. Apakah arah yang di tuju arah yang akan membawanya keluar dari hutan atau justru menyesatkannya ke dalam gua yang gelap gulita. Mereka perlu arahan dan bimbingan. Tetapi mereka tidak tahu kemana mereka bisa mendapatkan bimbingan itu. Apa yang mereka dengar selalu bertentangan dengan apa yang mereka lihat. Orangtua mengatakan ini tidak benar, tetapi justru itu yang setiap hari dilakukan orangtuanya. Gurunya mengatakan bahwa mereka harus disiplin, tetapi mereka menyaksikan guru mereka tidak pernah disiplin. Mereka semakin bingung dan kehilangan arah. Akhirnya mereka hanya memilih bermain-main saja untuk menghabiskan waktu mereka.
Novel ini secara tegas dan tanpa tedeng aling-aling mengkritisi sikap politik pemerintahan Indonesia dalam berinteraksi dengan percaturan dunia. Protes pengarang dalam hal ini dilukiskan saat Fahri dijebloskan penjara karena tuduhan pemerkosaan. Tuduhan yang tidak benar. Pelecehan terhadap negara Indonesia, diungkapkan saat seorang polisi berusaha memperkosa istri Fahri yang berkebangsaan Jerman karena sebelumnya mengira bahwa istri Fahri adalah orang Indonsia. Si pemerkosa itu beranggapan akan aman memperkosa orang Indonesia karena kedutaan besar Indonesia lemah. Negara Indonesia tidak bisa melindungi rakyatnya yang teraniaya. Indonesia tidak tegas dalam mengambil sikap. Itu sebabnya orang lain meremehkannya. Menganggapnya rendah dan tidak pantas disegani. Untuk itu pengarang membandingkan dengan sikap negara German. Negara German sangat tegas membela warganya yang mendapat penghinaan. Bagi kedutaan German membela warga negara sama dengan membela pimpinan negara. Kehormatan warga negara sama dengan kehormatan negara. Hal itu membuat negara lain segan dan menghormati mereka.

No comments:

Post a Comment