Friday, October 15, 2010

Kisah Anak Saudagar

Tulisan tentang perbedaan handbook dan booklet yang ditulis oleh Rafael Naftali mengingatkan aku pada sebuah cerita anak-anak yang pernah kubaca ketika aku masih kecil. Dimana aku membacanya aku sudah lupa. Mungkin di “Kuncup”, majalah anak-anak waktu itu.
Begini ringkasan ceritanya.  

Ada seorang saudagar yang kaya raya. Ia mempunyai harta yang sangat banyak. Saudagar itu dikenal sebagai saudagar yang sangat ulet dalam bekerja. Ia mempunyai dua orang anak laki-laki. Ketika saudagar itu sudah tua, ia merasa bahwa hidupnya tak akan berlangsung lama. Ia akan meninggalkan semua harta yang dimilikinya dan juga keluarganya. Untuk itu ia berwasiat kepada kedua anaknya.
”Anak-anakku, mungkin hidup ayahmu ini tak akan lama. Ayah akan mati dan meninggalkan kalian semua. Harta yang ayah tinggalkan ini semua untuk kalian. Tetapi ketahuilah bahwa untuk mendapatkan semua ini ayah telah berguru kepada seorang arif  dan ayah telah mendapatkan ilmu agar menjadi orang kaya. Kepada kalian masing-masing ayah tinggalkan dua buah toko yang sama nilainya. Kalau kalian ingin hidup kalian bahagia dan tidak jatuh melarat maka ingatlah wasiat ayah ini. Pertama, rumah kalian harus terpisah dari toko. Kedua, tubuh kalian tidak boleh terkena sinar matahari saat kalian mendatangi atau meninggalkan toko”
Setelah menyampaikan wasiat itu, saudagar tersebut meninggal dunia. Tinggallah dua orang anaknya dengan harta mereka. Masing-masing mendapatkan sebuah toko yang sudah lengkap dan tinggal mengelolanya saja. Mereka berdua terus mengingat wasiat sang ayah. Untuk wasiat pertama, mereka tidak mengalami kesulitan. Mereka membangun rumah yang terpisah dari tokonya. Untuk wasiat yang kedua mereka rupanya memiliki persepsi yang berbeda.
Si sulung berpikir keras untuk mencari cara agar wasiat sang ayah dapat dijalani. Akhirnya dia menekan solusi yang cerdas. Ia membangun terowongan dari rumah ke tokonya. Dengan demikian ia bisa datang dan pulang kapanpun tanpa harus tersentuh sinar matahari sekalipun pada saat itu matahari sedang terik.
Si bungsu lain lagi. Ia dan istrinya berusaha datang ke toko sebelum matahari terbit. Mereka bangun pagi-pagi dan sebelum matahari muncul di ufuk mereka sudah sampai di toko mereka. Demikian juga bila sore hari.Mereka baru meninggalkan toko setelah malam tiba. Hal itu dilakukan agar matahari sore tidak mengenai tubuhnya saat mereka meninggalkan toko.
Mereka berdua berhasil menjaga wasiat sang ayah. Wasiat pertama terpenuhi. Wasiat kedua juga terpenuhi tetapi dengan cara yang berbeda. Ternyata hasilnya juga berbeda. Si sulung menjadi semaunya sendiri kapan harus datang ke toko dan kapan pulang dari toko. Jam buka tokonya menjadi tidak menentu. Banyak langganan yang kecewa dan berpindah ke toko lain. Sebaliknya tidak demikian pada si bungsu. Pelanggannya semakin bertambah karena mereka merasa diuntungkan dengan jam buka toko yang relatif panjang. Akhir certinya bisa diduga. Si sulung  bangkrut dan jatuh melarat.
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari cerita ini. Cara berpikir!!  Si sulung berpikir instant sementara si bungsu tidak. Kalau dalam tulisan rafael Naftali mungkin si sulung ini sukanya baca booklet dan si bungsu ini sukanya baca handbook. Menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan memang tidak harus terpaku pada satu aturan. Ibarat orang melakukan perjalanan, untuk mencapai tujuan bisa dilakukan dengan berbagai cara. Tetapi ada   prinsip yang harus diikuti yaitu proses. Berbicara proses berarti berbicara   dimensi waktu. Waktu mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk karakter manusia. Orang bisa menciptakan alat yang sangat canggih agar pekerjaan mereka selesai dengan cepat, tetapi orang tidak bisa mengabaikan proses yang terjadi. Ada banyak hal yang akan terjadi beriringan dengan berlangsungnya proses yang sedang berlangsung.
Saat ini berpikir instant menjadi trend dimana-mana. Cara lama yang panjang dianggap kuno. Yang lebih cepat dan lebih praktis adalah modern. Hal itu ditransfer terus dari generasi ke generasi. Akibatnya, ketahanan mental generasi kita menjadi lembek. Mudah putus asa dan cenderung rapuh.
Kita ambil salah satu contoh di dunia pendidikan. Saat ini banyak  bimbingan belajar yang mengiming-imingi cara smart. Menyelesaikan soal dalam waktu yang singkat. Hanya melihat saja soal sudah selesai. Tidak perlu berpikir panjang. Cara yang diajarkan di sekolah terlalu bertele-tele. Maka, orang tua berbondong-bondong mengirim anaknya masuk bimbingan belajar yang konon bisa mencetak anak-anak menjadi lebih cepat cerdas dengan cara smart yang ditawarkan.
Apa yang terjadi kemudian. Anak mamandang sebelah mata kepada gurunya dengan berdalih, gurunya gak pinter. Lebih pinteran tentor di bimbingan belajar. Tidak ada sikap tawadu’ dalam menuntut ilmu.  Pemahaman konsep rapuh. Di sekolah guru berusaha memahamkan konsep dengan benar, sementara di bimbingan belajar hal itu sering kali dilewati.
Sekali lagi, tanpa mereka sadari mereka digiring untuk senang membaca booklet dari pada handbook. Mereka digiring untuk berpikir dan berperilaku instan daripada menjalani proses.  Bagaimana hasilnya? Wallahualam bi sowab

No comments:

Post a Comment