Tuesday, March 15, 2011

Sulit Vs Mudah

oleh Endah Siel pada 15 Maret 2011 jam 8:20
Suatu ketika aku pernah marah pada ibuku. Pasalnya, aku tidak bisa terima kebijakan ibu yang menurutku tidak adil. Di rumahku ada pembantu yang kata ibu bertugas membantu kami dalam menyelesaikan tugas sehari-hari. Memasak, membersihkan rumah, mencuci baju, menyeterika dan mengerjakan tugas-tugas lain di rumah kami. Untuk semua tugas yang ia lakukan itu ia digaji dengan pantas.
Tetapi, aku tetap saja diberi tugas yang menurutku tidak ringan. Setiap pagi aku harus membersihkan tempat tidurku sendiri, tempat tidur ibu dan tempat tidur kakakku. Setelah itu memberi makan ayam, menyapu halaman dan mengepel lantai. Setiap hari aku harus melakukan tugas itu dan tidak ada toleransi sedikitpun untuk mendapat kelonggaran. Bila aku tidak mengerjakannya, ibu akan marah dengan mengomel panjang lebar sehingga kupingku terasa keriting dibuatnya.

Kulihat itu tidak terjadi pada teman-temanku. Teman-temanku yang punya pembantu sangat nyaman hidupnya. Apa-apa si mbok. Mereka tinggal tahu beres. Semuanya dikerjakan pembantu. Bukankah mereka digaji untuk melakukan semua itu, kata mereka. Kenapa juga orang tua kita susah-susah gaji pembantu kalau kita anaknya tetap melakukan tugas-tugas mereka. Itu dalih teman-temanku. Hemh…..  masuk akal juga argument itu.
Aku terprovokasi kata-kata temanku. Di rumah, akupun berdemo. Aku protes untuk kebijakan yang sangat tidak adil itu. Di saat yang (menurutku) tepat, kusampaikan semua uneg-unegku.
Dengan sabar ibu mendengarkan protesku. Dibiarkannya aku berbicara berapi-api. Dan setelah kuselesaikan semua kalimatku, ibu berkata: Dengarkan kata-kata ibu!”
Semua yang kamu katakan benar. Ibu menggaji pembantu memang untuk melakukan tugas sehari-hari kita. Tetapi ibu ingin kamu membiasakan diri bekerja. Bila suatu ketika nanti hidupmu bahagia, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan, tentu ibu merasa senang karena itu adalah harapan ibu. Tetapi kalau kamu menghadapi masa-masa sulit, bila kamu terbiasa bekerja, kamu tidak akan mudah mengeluh.  Semua orang siap mengahadapi kemudahan, tetapi sangat sedikit sekali orang yang siap menghadapi kesulitan.
Ibuku selalu tidak bisa dibantah. Sekalipun waktu itu aku sama sekali tidak paham dengan apa yang dikatakan, tetapi aku tak punya nyali untuk membantah atau menolaknya. Percuma! Aku tak akan bisa mengalahkan ibu dalam berdebat. Lagi pula kalau kemarahan ibu sudah mencapai puncak aku sendiri yang susah. Pahaku akan biru-biru karena cubitan ibu.
Sekian  tahun kemudian, ketika aku menghadapi hidup yang sesungguhnya, kata-kata ibu itu terngiang-ngiang kembali. Ibuku meninggal saat aku masih berusia belasan tahun. Aku belum begitu paham dengan apa yang kuhadapi. Setelah ibu meninggal, kurasakan semuanya berubah. Fasilitas yang pernah kudapatkan sedikit demi sedikit raib. Semua berubah menjadi sulit. Apa yang terjadi seringkali tidak sesuai dengan apa yang kuharapkan. Pada saat-saat seperti itu, kurasa aku berada dalam kesulitan yang teramat sangat.
Banyak orang yang siap menghadapi kemudahan tetapi sangat sedikit orang yang siap menghadapi kesulitan, begitu kata ibu. Tetapi hidup tidak pernah menanyakan apakah kita siap menghadapi kesulitan atau tidak. Siap tidak siap, kita harus menghadapinya. Dibutuhkan ketangguhan mental yang luar biasa untuk menghadapi kesulitan. Dan ketangguhan mental itu tidak bisa langsung “jadi”. DIperlukan proses yang sangat panjang untuk mendapatkan ketangguhan mental seperti itu.
Kita bisa melihatnya dari orang-orang kuat di sekitar kita. Mereka yang kuat menghadapi kesulitan dan membaliknya menjadi peluang dan kesempatan bukanlah orang-orang cengeng yang selalu mengandalkan fasilitas dan kemudahan. Mereka adalah orang-orang yang selalu berani menghadapi kesulitan. Bagi mereka,  kesulitan adalah sesuatu yang “kecil”.
Bagaimana itu bisa terjadi? Karena mereka telah terbiasa menghadapinya. Orang yang biasa hidup susah, tidak membutuhkan energi yang besar untuk menghadapi kesulitan-kesulitan baru.  Tetapi bagi orang yang terbiasa hidup senang, kesulitan adalah bencana. Contoh sederhananya adalah:  orang yang terbiasa berjalan kaki, tentu akan lebih siap bila tiba-tiba harus bertanding jalan cepat. Sebaliknya bagi orang yang terbiasa naik motor dan tidak pernah jalan kaki akan seperti menghadapi bencana bila tiba-tiba harus bertanding jalan cepat.
Jadi, masalah utama   dalam menghadapi kesulitan adalah kebiasaan. Kita hanya perlu membiasakan diri menghadapi kesulitan. Setelah kebiasaan itu kita miliki, maka selanjutnya, tidak ada yang sulit bagi kita. Benar nggak?

No comments:

Post a Comment