Sunday, August 12, 2007

Hari Yang Penuh Arti

Huahhh, lega rasanya aku berhasil menyelesaikan satu hari yang yang berat dan melelahkan. Benar-benar melelahkan tetapi sangat asyik dan penuh pelajaran. Aku tak akan melupakannya seumur hidupku. Aku memberinya sebutan “hari yang berarti”.

Tadi pagi saat aku masih berkutat dengan api kompor di dapur, Neni datang kerumah. Neni adalah gadis tetanggaku. Ia menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminjam sepeda motorku. Ia juga bercerita tentang kecelakaan yang baru saja dialami adiknya, Fuad. Menurut penuturan Neni, Fuad mengalami kecelakaan dua hari yang lalu. Sepeda motor yang ia tumpangi, menabrak pengendara sepeda motor lain di Jalan Veteran. Karena kecelakaan itu, sepeda motor yang ia kendarai dan sepeda motor yang ditabrak rusak berat. Ia harus menanggung ganti rugi sebesar delapan ratus ribu rupiah.

Neni juga mengutarakan keinginan emaknya menjemput paksa Fuad dari sekolah hari ini. Itu sebabnya ia ingin pinjam sepeda motorku untuk menjemput adiknya. Kubilang kepadanya, coba aku pikirkan dulu. Hari ini dua sepeda motor yang kami miliki dipakai semua. Salah satu digunakan kakakku untuk melihat kerja di penggergajian, sedang satu yang lain kugunakan untuk bekerja. Hari ini aku bertugas menjadi pengawas ujian akhir semester di sekolah. Neni pulang setelah aku berjanji mengabarinya beberapa saat kemudian melalui pesan singkat ke ponselnya.

Kulihat jam dinding menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat. Aku punya beberapa waktu untuk mengambil keputusan apakah aku akan meminjamkan sepeda motor kepada Neni untuk menjemput Fuad atau tidak. Kalaupun aku harus meminjamkan sepeda motorku, berarti aku harus ijin untuk tidak masuk hari ini. Tugas pengawasan bisa dilimpahkan kepada orang lain. Konsekwensi? Aku kehilangan kesempatan mendapatkan HR pengawas Ujian. Kalau untuk satu jam HR pengawas 5000 berarti aku akan kehilangan sepuluh ribu. Jumlah yang lumayan untuk ukuran Guru wiyata bakti seperti aku. Tapi bila aku masuk sekolah dan menjalankan tugas mengawasi ujian, aku akan mendapatkan HR pengawas yang sepuluh ribu itu, tapi nasip Fuad aku nggak tahu. APakah hari ini emaknya berhasil membawanya pulang atau tidak. Bagaimana juga, mereka harus menghadapi guru-guru Fuad, meminta ijin untuk membawa pulang dan hal lain yang harus diselesaikan di sana. Mereka bukanlah orang yang terbiasa berhubungan dengan lingkungan sekolah. Mereka asing dengan aturan-aturan yang diterapkan di sekolah. Siapa yang harus ditemui dan apa yang harus dilakukan. Aku yakin, bagi mereka semua itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.

Aku terus berpikir. Uang sepuluh ribu atau Fuad. Mana yang lebih berarti. Informasi tentang musibah yang dialami keluarga Neni telah sampai ke telingaku hari ini. Mengapa informasi itu sampai ke telingaku. Pasti Allah merencakan sesuatu dengan menyampaikan informasiku kepadaku. Mungkin aku akan dijadikan perantara Allah untuk menolong mereka dari kesulitan yang mungkin mereka hadapi di sekolahnya nanti. Kucoba membayangkan apa yang akan terjadi di sekolah nanti. Aku mengawasi ujian, duduk di bangku di depan kelas menghadapi duapuluh lima orang siswa yang asyik mengerjakan soal. Aku bisa mengerjakan tugas-tugasku sambil menungguin mereka. Capek, kemudian menguap. Pekerjaan mengawasi ujian sangat menjenuhkan.

Selanjutnya aku membayangkan kalau aku menyertai Neni dan emaknya ke STM Negeri untuk menjemput Fuad. Aku akan mendampingi Neni dan emaknya menemui guru Fuad untuk meminta ijin menemui Fuad. Aku akan menunjukkan ke ruang mana mereka harus masuk, menemui wali kelas Fuad, menemui guru BP dan membicarakan urusan Fuad dengan guru yang menanganinya. Bagiku yang juga seorang guru melakukan semua itu adalah mudah, sementara bagi Neni dan emaknya tentu bukan hal mudah.

Jam tujuh kurang dua menit, saat aku memutuskan untuk melimpahkan tugas pengawas ujian ke panitia ujian dan memilih mengantar dan meminjamkan sepeda motor untuk menjemput Fuad. Tidak hanya meminjamkan sepeda motor tetapi juga mengantar mereka ke STM Negeri dan membawa Fuad pulang ke rumahnya sesuai dengan yang dikehendaki orangtuanya. Aku segera mengambil ponsel. Kukirim pesan singkat untuk Pak Fuadi, minta ijin untuk tidak masuk dan melimpahkan tugasku ke guru lain. Setelah pesan terkirim, kususul dengan pesan singkat berikutnya. Kali ini pesan singkat untuk Neni. Kukatakan bahwa aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah dan menawarkan diri mengantar mereka ke STM menjemput Fuad.

Di STM Negeri yang sekarang diubah namanya menjadi SMKN I Blitar, salah satu sekolah kejuruan bergengsi di kota kami, aku segera mencari ruang Guru. Baru kali ini aku masuk ke komplek SKMN I. Tak kusangka ternyata lokasi sekolah ini sangat luas. Tidak hanya dari luar saja sekolah ini kelihatan megah. Kemegahan itu juga terlihat saat aku memasuki gerbang yang dijaga oleh dua orang Satpam. Di lorong masuk utama terpampang spanduk berlogo Osis SKMN dan tulisan berwarna hijau yang terbaca”Selamat Jalan Patriot Muda. Kutitipkan almamater ini kepundakmu” Mungkin ucapan selamat jalan untuk siswa-siswi kelas III yang baru saja dinyatakan lulus dari sekolah ini. Sementara itu siswa-siswi SMKN yang rata-rata berpostur tubuh tinggi berseliweran di teras-teras ruangan. Ada yang bergerombol di depan sebuah ruang. Ada yang melakukan aktifitas pembelajaran di bengkel-bengkel. Ada yang mondari-mandir dari satu ruangan ke ruangan lain.

Saat berjalan di salah satu koridor menuju ruang guru, yang aku tahu dari tulisan di seberang kanan jalan masuk, aku menyapa seseorang yang sudah kukenal. Aku memanggilnya dengan sopan. Kukatakan bahwa aku bermaksud menemui salah seorang siswa bernama Fuad Fauzi dari jurusan Broad casting. Dengan sopan juga beliau mengantarku ke salah seorang guru yang dipanggilnya pak Ali. Rupanya Pak Ali ini mengetahui secara pasti masalah yang dihadapi Fuad. Dari penuturan Neni, kemudian aku tahu kalau sepeda motor yang dikendarai Fuad saat kecelakaan adalah sepeda motor Pak Ali ini. Pak Ali menyuruh salah seorang siswi mengantarku ke kelas Fuad.

Kami, aku ,Neni, Ibunya Fuad, Fuad dan Bu Endang, guru BP Fuad duduk bersama di salah satu ruang pertemuan guru. Kami membicarakan tentang urusan Fuad dengan pihak yang ditabrak. Hasil negosiasi Bu Endang, pihak Fuad harus membayar enam ratus ribu rupiah kepada pihak yang ditabrak. Orangtua Fuad sudah memberikan uang sejumlah lima ratus ribu dan menyerahkan pengurusan itu kepada pihak sekolah.

Selanjutnya, membujuk Fuad agar mau diajak pulang ke rumah. Yang membuat Fuad tidak mau pulang adalah tugasnya yang deadline hari Minggu karena hari Senin semua tulisan harus masuk ke percetakan. Fuad adalah anggota Redaksi Majalah sekolah. Selain itu, kelas Fuad juga akan ulangan mata pelajaran Kewirausahaan hari itu. Kusampaikan pada Fuad bahwa ia harus mendelegasikan beberapa tugas kepada teman-temannya. Hal itu harus dilakukan karena ia perlu waktu untuk penyembuhan. Setelah ia pulih ia dapat menjalankan tugas sebagaimana seharusnya. Keputusannya untuk mengabaikan penyembuhan dengan tetap bekerja akan memperlambat kesembuhannya. Kusarankan lebih baik ia menjalani proses penyembuhan setelah itu ia dapat pulih total dan bekerja maksimal dari pada ia tetap bekerja tetapi ia tidak dapat menjalankannya dengan baik dan hasil yang dicapai juga tentu tidak maksimal. Kelihatannya saranku termakan juga olehnya. Ia menganggukkan kepala tanda setuju.

Berikutnya adalah negosiasi dengan guru kewirausahaan agar ia diijinkan ulangan menyusul atau mengerjakan ulangan lebih dulu. Aku menemui Bu Sri Wahyuni, guru kewirausahaannya untuk membicarakan hal tersebut. Bu Sri Wahyuni menyarankan agar Fuad mengerjakan soal ulangan lebih dulu. Fuad setuju.

Sementara menunggu Fuad mengerjakan soal ulangannya, aku mengusulkan kepada emaknya Fuad agar Fuad di rongtenkan untuk mengetahui keadaan tulangnya. Melihat Fuad berjalan dengan menyeret salah satu kaki serta tangannya yang tidak bisa digerakkan membuat aku merasa khawatir. Emak Fuad menyetujuinya. Kamipun bersepakat sepulang dari SMKN nanti mampir Klinik bersama yang bisa melayani Rongten mandiri.

Jam sebelas kami sampai di rumah. Kuantar Fuad sampai di depan rumahnya. Kedatangannya disambut haru saudara-saudaranya yang ternyata sudah sejak pagi menunggu. Pancaran rasa syukur melihat fisik Fuad di wajah nenek, bude dan saudara Fuad yang lain menorehkan rasa haru dalam hatiku. Berulang kali kudengar ucapan terimakasih dari mulut emak Fuad. Sejak berangkat, dikelopak mata wanita bermuka tirus itu selalu tergenang air. Ia tak dapat menyembunyikan rasa khawatirnya.

Sekembali dari rumah Fuad aku bersantai di Counter kami. Seseorang datang menemuiku. Ia tetanggaku yang lain. Ia bercerita tentang Ana, seorang gadis belia yang kebetulan juga kukenal. Sebetulnya Mbak Siti, tetanggaku itu bukanlah saudara Ana. Tetapi menurut penuturannya, Ana beberapa kali datang dan menginap di rumahnya. Aku mengenal Ana karena dia adalah juga pernah menjadi teman anakku, Kiki. Sewaktu di MI mereka satu kelas. Mereka juga bersahabat. Setahuku, Ana adalah seorang gadis yang mempunyai segudang kelebihan. Fisiknya bagus. Ia dikaruniai wajah yang cantik. Selain itu ia juga pandai. Menurutku bahkan sangat pandai. Nilainya selalu jauh di atas rata-rata. Ana sejak usia dua tahun diasuh neneknya, karena ibunya pergi ke Malaysia dan bekerja sebagai seorang TKW. Ayah Ana usianya jauh lebih tua dari usia ibunya. Konon, ibu Ana menikah dengan seorang duda (ayah Ana) cerai yang mempunyai beberapa anak. Entah mengapa, bukannya diasuh ayahnya tetapi Ana justru diasuh neneknya.

Lulus dari MI ia bersama dengan anakku mendaftar ke MTsN I, sebuah MTs terkemuka di kota kami. Di madrasah itu, Ana satu kelas dan bahkan satu bangku dengan Kiki. Mereka berdua bersahabat. Persahabatan yang tidak sehat menurutku. Bagaimana tidak? Ana adalah anak berduit. Sejak neneknya meninggal dan ia tinggal bersama Pak Puhnya (kakak ibunya) ia mendapat uang saku yang menurutku terlalu berlebihan. Dengan uang sakunya itu ia dapat dengan leluasa membeli apa saja yang ia inginkan seberapapun mahalnya.

Hanya beberapa bulan ia tinggal di rumah Pak Puhnya. Ia pernah curhat ke Kiki bahwa ia tidak kerasan tinggal di rumah Pak Puhnya. Rupanya hal itu disampaikan Ana kepada ayahnya. Beberapa saat kemudian, ia memutuskan kos di dekat sekolah.

Pada suatu hari, ia berpamitan kepada ibu kos untuk pergi ke sebuah swalayan membeli beberapa keperluan. Ia pergi dengan diantar pembantu ibu kos. Di swalayan ia bertemu dengan beberapa orang temannya. Kemudian ia meminta pembantu itu pulang sendiri sementara ia bersama-sama temannya pergi entah kemana. Malam itu ia tidak kembali ke tempat kos. Kejadian ini adalah kejadian luar biasa bagi ibu kos Ana. Itu sebabnya, Ana mendapat marah setelah ia kembali ke tempat kos esok harinya. Kemarahan ibu kos Ana tampaknya membuat Ana merasa tidak nyaman. Ia mulai sering pulang ke rumah ayahnya. Beberapa bulan kemudian, ayahnya datang ke sekolah dan meminta ijin sekolah untuk memindahkan Ana ke sekolah lain.

Sejak saat itu, Ana dan Kiki jarang berhubungan. Hanya beberapa kali saja Ana telpon dan menanyakan keadaan Kiki. Meski hanya mendapat telpon jarang-jarang, tetapi Kiki tahu bahwa Ana kemudian pindah sekolah lagi ke sebuah Madrasah swasta di kota kami.

Hari ini kedatangan Mbak Siti ke rumahku membawa berita tentang Ana. Kata Mbak Siti, beberapa saat yang lalu guru Ana di sekolah yang baru mendatanginya dan menanyakan di mana Ana berada. Karena tidak tahu, Mbak Siti berusaha mencari informasi ke kami. Siapa tahu Kiki tahu keberadaan Ana, kata Mbak Siti. Menurut ibu guru Ana, sudah sejak seminggu yang lalu Ana tidak berada di pondok dan juga tidak mengikuti ujian semester yang diadakan sekolah. Mendengar penuturan Mbak Siti seperti itu, aku sangat kaget. Bagiku kejadian ini sangat luar biasa. Tidak mengikuti ujian semester berarti tidak bisa mendapatkan rapot, dan tentu saja ia bisa tidak naik kelas.

Telpon rumah kami berdering beberapa saat setelah Mbak Siti pulang. Ternyata telpon untuk Kiki dari ........ Ana. Mungkin suatu kebetulan. Tetapi aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini. Akhirnya aku memutuskan menyadap pembicaraan Kiki dan Ana melalui saluran pararel. Dengan dada berdebar-debar kudengarkan suara Ana di seberang. Setelah bersay hello, Ana mengajak Kiki untuk saling bertemu dan membeli bakso bersama. Kiki tidak segera menyetujuinya. Kiki menanyakan di mana saat ini Ana berada. Ia menjawab bahwa saat ini ia masih berada di Pondok dan akan pulang karena ujian sudah selesai. Mendengar jawaban itu, serasa jantungku hendak copot. Ia sudah berbohong. Bukan hanya itu, ia ternyata lihai dalam berbohong. Lihatlah, semua yang ia katakan mengalir begitu ringannya. Sepertinya ia sudah terbiasa berbohong.

Kami, aku dan Kiki bersepakat menerima Ana dirumah. Bahkan ketika Ana minta ijin untuk menginap di rumah, aku menyetujuinya. Aku ingin melindunginya. Segera setelah ia memutuskan untuk tinggal sementara di rumah kami, aku menghubungi keluarga dan gurunya. Salah seorang gurunya datang kerumahku untuk meminta penjelasan dari Ana mengapa ia kabur dari pondok. Selebihnya sang guru berusaha menasehati dan memintanya berfikir ulang dengan keputusannya untuk melarikan dari pondok dan tidak ikut ujian semester. Pak Puhnya juga demikian. Dari pembicaraan mereka aku jadi tahu bahwa Ana adalah remaja yang bermasalah.

Pak Puh Ana meminta kesediaanku untuk menampung Ana beberapa hari karena mereka harus menyelesaikan beberapa masalah penting berkaitan dengan Ana. Kata Pak Budi, Pak Puhnya Ana, Ana dilaporkan ke polisi karena kasus kriminal. Ia menjual sepeda motor ayahnya dan menghabiskan uang penjualan sepeda motor itu untuk pergi beberapa hari bersama pacarnya. Selain itu Ana juga menjual Hp tanpa sepengetahuan ayahnya. Uniknya, kasus itu dilaporkan sendiri ke polisi oleh ayah kandung Ana.

Subhanallah! Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Aku tak pernah menduga sahabat anakku yang kulihat sangat lembut dan pintar ternyata mempunyai sisi kehidupan yang kelabu. Ada rasa geram sekaligus rasa kasihan setiap kali aku melihatnya. Kurasa, pasti ada sesuatu yang tak terpenuhi dalam dirinya, sehingga ia melampiaskannya pada perbuatan yang menyimpang perilaku sosial pada umumnya. Ketika kutanyakan padanya tentang keinginan apa yang tak terpenuhi dalam hidupnya, Ana menjawabnya dengan berurai air mata. Katanya: Aku ingin hidup bersama ibu!

Aku memekik dalam hati. Saat itu juga aku ingat Kiki, anakku. Kupandangi wajah Kiki saat ia tertidur pulas. Aku sangat menyayanginya. Aku juga yakin ibunya Ana menyayangi Ana. Ia pergi jauh menyeberang lautan agar bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masa depan Ana. Bila yang terjadi sebaliknya, semua itu diluar pengetahuan kami. Ya Allah, sesungguhnya hanya Engkau yang paling tahu yang terbaik untuk kami, melebihi diri kami sendiri.

No comments:

Post a Comment