Sunday, March 9, 2008

GURU DAN PROBLEMATIKANYA

"Ali Joharta!"

"Ya Bu Guru"

"Coba, Bu Guru mau tanya"

"Ya Bu Guru!"

"Kalau sudah besar nanti, kamu ingin jadi apa?"

"Jadi Guru, Bu Guru"

"Pinter. Kalau begitu kamu harus rajin belajar"

"Ya Bu Guru"

"Tapi,.. kenapa kamu ingin menjadi guru Drun?"

"Biar gampang golek utangan Bu Guru!"

Dialog tersebut dikutip dari sebuah iklan dealer kendaraan bermotor roda dua yang disiarkan oleh salah satu radio swasta di Tulungagung. Di telinga setiap orang yang mendengarnya, iklan itu memang langsung menjadi sesuatu yang "greng". Pemasang iklan pasti berdalih, agar produk yang ditawarkan dicermati pendengar maka iklan harus dibuat sedemikian rupa sehingga menggelitik dan menimbulkan respon. Kenyataannya memang begitu. Keinginan untuk mendapatkan fasilitas, harga miring dan kemudahan membuat pendengar meresponnya dengan antusias. Baik mereka yang berminat untuk menindaklanjuti iklan atau sekedar menjadikannya sebagai hiburan.

Tetapi, marilah kita simak sekali lagi dengan lebih teliti dan menggunakan hati dan perasaan. Mudah mencari pinjaman (gampang golek utangan) dipadukan dengan profesi seorang guru. Seolah-olah guru identik dengan pengutang. Kenyataannya memang tidak salah, karena banyak mereka yang berprofesi guru menjadi kreditor setia dari berbagai bank. Tetapi bukankah kreditor bukan hanya didominasi oleh mereka yang berprofesi guru saja.

Beberapa tahun terakhir ini, banyak pihak menyoroti dunia pendidikan karena ditengarai sistim pendidikan Indonesia gagal mewujudkan amanat konstitusi. Out put sistim pendidikan kita tidak bisa memenuhi harapan baik dari segi kompetensi intelektual maupun kompetensi kepribadian (sosial) apalagi kompetensi spiritual. Setiap orang menyampaikan argumentasi tentang mengapa sistim pendidikan di Indonesia gagal. Selanjutnya mereka menawarkan solusi dengan terlebih dahulu melakukan berbagai kajian. Uniknya, permasalahan yang timbul di dunia pendidikan tidak teratasi dengan berbagai solusi yang ditawarkan. Bahkan cenderung ada kesan bahwa solusi yang ditawarkan justru membawa permasalahan baru yang membutuhkan solusi lain.

Kita bisa mengambil contoh tentang solusi yang ditawarkan secara nasional, bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan maka alokasi anggaran di bidang pendidikan harus ditingkatkan. Kesejahteraan guru harus ditingkatkan. Logikanya bila kesejahteraan guru meningkat, kualitas kerja mereka akan meningkat pula. Guru yang semula ngojek karena pendapatannya tidak cukup untuk menutup kebutuhan hidup akan tenang-tenang mengajar setelah pendapatannya bertambah. Alur berpikir seperti ini sangat logis. Tetapi kenyataan di lapangan tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain, kualitas guru tidak serta merta meningkat dengan adanya peningkatan kesejahteraan.

Untuk pemberian insentif guru tidak tetap (guru wiyata bakti) saja ditemukan banyak permasalahan di lapangan. Diantaranya dapat dicatat sebagai berikut:

1. Sesuai dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaannya, insentif diberikan kepada pendidik (guru) saja. Padahal di sebuah lembaga pendidikan personal yang terlibat bukan hanya pendidik saja melainkan juga tenaga kependidikan seperti pegawai tata usaha dan penjaga sekolah. Bisa dibayangkan bila dalam satu sekolah tersebut hanya guru saja yang mendapat perhatian dalam bentuk insentif tentu tenaga kependidikan selain guru akan merasa di anak tirikan. Sementara, tidak diperkenankan dilakukan pemotongan dalam bentuk apapun dalam pemberian insentif ini. Akibatnya, banyak terjadi rekayasa data. Tenaga tata usaha diusulkan sebagai guru agar mendapatkan insentif seperti yang diterima rekannya.

2. Insentif yang diberikan kepada guru tidak tetap tidak merata. Beberapa diantara guru mendapatkan insentif, sedangkan rekan sekerjanya tidak. Timbullah kecemburuan sosial yang sangat mengganggu kelangsungan kegiatan belajar mengajar.

3. Meskipun tidak diperbolehkan ada pungutan dari pemberian insentif, kenyataannya praktek penyunatan itu masih tetap ada, meski tersamar. Hal ini membuat keresahan di berbagai pihak. Yang tidak puas dengan adanya pungutan akan berteriak. Yang menarik pungutan akan geram dan mengancam. Akibatnya, lembaga pendidikan disibukkan hal-hal seputar penerimaan insentif.

4. Terjadi overlapping penerimaan insentif. Hal ini dimungkinkan karena banyak guru tidak tetap yang mengajar di lebih dari satu lembaga pendidikan. Mereka yang mengjar di lebih dari satu sekolah diusulkan oleh masing-masing lembaga sehingga mereka menerima insentif dobel. Meskipun ada instruksi yang tidak memperkenankan penerima insentif dobel tetapi tetap saja banyak yang melakukannya.

5. Validasi data pendidik sulit dilakukan. Setelah program pemberian insentif kepada guru tidak tetap diluncurkan, banyak orang berminat menjadi guru. Mereka berminat menjadi guru bukan karena tepanggil jiwanya untuk melakukan tugas mulia melainkan karena tertarik insentifnya.

6. Insentif untuk guru tidak tetap bersumber dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini terjadi karena di bawah naungan Departemen Agama banyak berdiri lembaga pendidikan berciri khas agama. Guru-guru yang mengajar di lembaga pendidikan di bawah naungan departemen agama mendapatkan insentif dari dua pintu yaitu dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Sementara mereka yang mengajar di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional mendapatkannya dari satu pintu yaitu dari Departemen Pendidikan Nasional saja. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial.

Temuan di atas menunjukkan permasalahan mendasar di dunia pendidikan bukan hanya permasalahan peningkatan kesejahteraan pendidik. Yang lebih urgen dari semua itu adalah permasalahan moralitas pendidik dan tenaga kependidikan. Setiap pendidik hendaknya menyadari bahwa tugas mereka adalah sangat mulia. Mereka tidak hanya bertugas menyampaikan materi kepada siswa, tetapi mereka juga harus menanamkan nilai, menularkan tradisi luhur dan memotivasi siswa untuk menjadi anggota komunitas pembelajar. Ujung-ujungnya guru berhak untuk memberikan warna bagi pembentukan kepribadian siswanya. Sesuatu yang sangat penting dan tidak mudah untuk dilaksanakan. Seorang guru yang tidak teruji kompetensinya tidak mungkin akan mampu menghasilkan lulusan yang juga berkompetensi.

Selama ini guru selalu menjadi bulan-bulanan pemberitaan. Nasip guru menjadi konsumsi pemberitaan yang memiliki nilai jual tinggi. Menaikkan oplah media massa cetak. Dalam bentuk miniatur kehidupan seperti sinetron Indonesia guru menempati posisi sebagai figur yang pantas untuk ditertawakan, udik, ketinggalan jaman dan bodoh. Dalam menjual produk, pengusaha menjadikan guru sebagai obyek iklan yang konyol sebagaimana penulis sampaikan di bagian awal tulisan ini

Nasip guru memang apes. Begitu apesnya sehingga hanya guru sendiri yang bisa menolong dirinya dari keteraniayaan itu. Caranya adalah menguatkan kepribadian guru. Memiliki kesadaran diri bahwa tugas mereka, para guru, sangatlah mulia. Banyak orang bisa mentransfer ilmu pengetahuan kepada orang lain, tetapi tidak semuanya pantas menjadi guru. Seorang guru haruslah mempunyai kepribadian yang luhur, memegang teguh nilai-nilai agama dan kesusilaan. Seorang guru adalah mereka yang memiliki kompetensi profesional, kompetensi pedagogis, kompetensi sosial dan yang sangat penting adalah kompetensi kepribadian. Guru yang mempunyai kepribadian yang baik mempunyai peluang lebih besar untuk menghasilkan lulusan dengan kepribadian yang baik pula. Seorang guru adalah mereka yang tahan uji terhadap aniaya fisik demi untuk mempertahankan nilai, karena nilai lebih abadi bila dibandingan kebutuhan fisik. Guru adalah pembelajar sejati. Mereka belajar dari kehidupan dan mengajarkan tentang kehidupan.

Selamat berjuang para guru!

No comments:

Post a Comment