Monday, February 7, 2011

Benarkah kita benar-benar tidak bisa?


oleh Endah Siel pada 28 Januari 2011 jam 16:41
Di sebuah obrolan, seorang teman mendekati aku. Awalnya dia minta pendapatku tentang penelitian yang ia rencanakan. Biasalah sharing. Rupanya ia ambil S2 di sebuah perguruan tinggi swasta. Seorang mahasiswa pasca sarjana kan memang dituntut untuk terampil dalam mengungkapkan ide melalui sebuah tulisan ilmiah.
Selanjutnya dalam obrolan itu ia mengeluhkan betapa sempitnya waktu yang ia miliki. Ia tidak bisa belajar karena ia tak punya cukup waktu. Ia kemudian menceritakan kesibukannya di rumah. Memasak, mengurus anak, suami dan juga tugasnya sebagai seorang guru sangat menyita waktu. Padahal sekarang ia dituntut untuk meluangkan waktu untuk belajar. Ia sadar bahwa ia seharusnya membaca lebih banyak buku agar wawasannya luas.

Kupikir ia sedang menghadapi masalah serius dan  ingin mendapatkan solusi dari diskusi kami. Maka sebagai teman aku berusaha memberinya masukan. Terutama tentang pengelolaan waktu. Kusarankan ia untuk mengefektifkan waktu yang ia miliki. Kusarankan ia mendisiplinkan diri mengambil sebagian waktunya untuk mengunjungi perpustakaan. Ia menggelengkan kepala. Katanya ia tak bisa melakukannya karena ia tak mungkin meninggalkan anak-anak setelah seharian ditinggalkan. Kalau begitu manfaatkan waktu istirahat atau jam kosong untuk pergi ke perpus. Ia juga menggeleng. Ia bilang ia tak akan tenang melakukannya karena waktunya terlalu sempit. Kemudian aku menyarankan agar ia memanfaatkan perpustakaan digital dengan mengakses internet. Ia menggeleng lagi. Dengan malu-malu ia bilang kalau ia gaptek. Kusarankan ia untuk belajar mengakses internet. Lagi-lagi ia menggeleng dan mengatakan kalau ia tak punya modemlah, tak ada yang mengajari dan lain sebagainya. Akhirnya aku diam karena kehilangan kata-kata. Aku kehabisan saran.
Akupun merenung. Bagaimana mungkin temanku itu dapat menyelesaikan masalahnya kalau ia tak pernah bersungguh-sungguh ingin menyelesaikannya. Dengan menolak semua saran yang disampaikan  orang lain kepadanya, ia tak akan mendapatkan apa-apa. Kurasa bisa atau tidak, bukan orang lain yang menentukan melainkan diri sendiri. Kalau ia sudah menyiapkan segudang alasan untuk membenarkan ketidakmampuannya, lalu apa gunanya ia mengajakku diskusi.  Untuk apa ia minta saran orang lain.
Menurutku seringkali kita memenjara diri sendiri dengan dalih “tidak mampu”. Padahal kita sadar bahwa kita punya mimpi dan ingin mewujudkan mimpi itu. Tetapi  tanpa kita sadari kita mengabaikan begitu saja mimpi  kita. Ibarat seseorang yang ingin berada di puncak menara, bukannya pergi mencari tangga atau tali dan menggunakannya sebagai alat untuk mencapai menara itu tetapi malah pergi tidur. Ya kapan kita sampai di puncak menara. Sampai kapanpun kita tak akan pernah mewujudkan mimpi kita kalau tidak tidak berusaha mencapainya.

No comments:

Post a Comment